Pages

 

31 Mei 2012

Selamat Berbahagia "Mbak Kiki"

0 komentar


Alhamdulillah,,,
Telah lahir Putra Pertama dari saudari kita di GS Wilayah Jateng & DIY,  putra dari " Mbak Tarsina Rizki dan Mas Suksmo Susanto" ,  hari Rabu Sore dengan berat 3.297 kg.




Segenap Rekan2 kiSEL Jateng & DIY. mengucapkan : 
Selamat Berbahagia, atas kelahiran Putra Pertama Mbak Kiki,  
Semoga menjadi Putra yang sholeh, berbakti pada orang tua, berguna bagi Nusa & Bangsa,
Amiiin..
Read more...

23 Mei 2012

Solo Batik Carnival 5 - Tanggal 30 Juni 2012

0 komentar

Kota Solo memang identik dengan batik. “Batik is live, Solo is batik” begitulah kira-kira menyebutnya.

Hadir kembali dalam kemegahan budaya yang mengagumkan dari kreativitas yang tak diragukan lagi. Ya, Solo Batik Carnival 2012 edisi yang ke-5 kembali hadir pada 30 Juni 2012. 

Solo Batik Carnival merupakan sebuah karnaval berbasis masyarakat lintas etnik, usia dan profesi dimana batik menjadi tema utamanya. Solo Batik Carnival tahun ini hadir dengan nuansa yang lebih fresh. Empat rangkaian Meta dihadirkan dalam setiap kelompok. Kelompok I berupa rancangan dasar bentuk bulat, kelompok II berbentuk kerucut, kelompok III rancangan bentuk segi banyak dan kelompok IV adalah kelompok anak-anak dengan bentuk dasar flora dan fauna. SBC lima kali ini menampilkan proses perjalanan kain batik yang berawal dari kain putih sampai menjadi batik yang indah. Selain itu, peserta pun didaulat untuk kreatif, inovatif dan original dalam memodifikasi kostum.

Batik adalah identitas bangsa yang merupakan warisan agung. Batik adalah milik masyarakat. Dengan adanya perhelatan seperti ini, semoga mampu menciptakan karya yang Inovatif, kreatif dan original, bisa dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat, dan bisa dilestarikan oleh generasi muda Indonesia.


Read more...

14 Mei 2012

Jember Fashion Carnaval - 8 Juli 2012

0 komentar


Sejak JFC diselenggarakan di kota Jember sebagai " World Fashion Carnaval " telah banyak mempengaruhi dan memotivasi pertumbuhan industri kreatif maupun budaya kreatif.

JFC berupaya menggali, mengolah dan memberdayakan Sumber Daya Manusia dari sisi kreatif untuk lebih maju dan optimis menghadapi tantangan Global yang menempatkan kita pada zona kritis dimana kita dipaksa berfikir, melihat masa lalu,saat ini dan memprediksi masa yang akan datang, agar kita menjadi lebih kompetitif dan siap bersaing sacara Global.

" WELCOME to JEMBER, THE WORLD CARNAVAL CITY " 



8 Juli 2012, Jember, Jawa timur, Indonesia kembali menjelma menjadi kota karnaval dunia disepanjang catwalk 3,6 km dan didukung peserta dengan kostum,make up, koreografi ,tata warna ,karakter, stage, live & ilustrasi musik dengan formasi Fashion Runway, dance dan theatrikal, menjadikan JFC satu-satunya karnaval yang terunik,fantastik,spektakuler dan amazing di dunia dengan dihadiri ratusan ribu penonton, ribuan media, photographer dan observer yang menjadi saksi lahirnya karya anak bangsa yang berhasil mewujudkan mahakarya kreatif berkelas dunia sebagai imajinasi bagian dari keajaiban dunia.

"Extremagination" dipilih sebagai tema JFC XI tahun 2012 kali ini. Dan akan menampilkan sepuluh  peragaan  diantaranya Trinidad Tobago, Maduress, Persians, Oceanarium, Orchidacea, Savana, Mushroom, Dragon, Planet Heredity, Rome Empire yang akan hadir dihadapan dunia .

Ada kabar baru. Mulai tahun ini anda bisa membeli tiket untuk nonton Jember Fashion Carnaval. Kalau biasanya yang duduk di tenda itu adalah mereka para undangan, untuk tahun ini disediakan area untuk mereka yang beli tiket. 

Oh iyaaa… untuk yang suka poto ada kabar bagus. Mulai tahun ini spot atau tenda bagi fotografer nggak terpisah kayak dulu di sepanjang runaway. Tapi tenda untuk anda para pemburu gambar diletakan setelah tenda tamu dan tenda media. Siiip kan…?!



Jember Fashion Carnaval selalu terus memberikan yang terbaik. Tiap tahun selalu ada kabar baru, koreksi dan perbaikan. Menghelat acara dengan ratusan bahkan mungkin ribuan personil dan pendukung acara tidak mudah. Tapi Dynan Fariz bisa membuktikanya. Ya… Jember Fashion Carnaval sudah sampai di tahun kesebelas. Selamat.. Sukses.. Dunia selalu menunggu…!!

http://www.jemberfashioncarnaval.com
Read more...

11 Mei 2012

Resep Sehat Tanpa Tergantung Obat

0 komentar

Ia mendidik pasiennya agar mengubah gaya hidup. Prinsipnya, pasien harus punya otonomi terhadap tubuh sendiri.

Cobalah berkunjung ke klinik dr. Tan Shot Yen diwilayah Bumi Serpong Damai pada pukul 11 dihari kerja. Anda akan melihat dr. Tan menghadapi beberapa pasien. Sekilas, Anda mungkin berpikir dokter sedang marah-marah. Padahal ia sedang menjelaskan tentang gaya hidup sehat pada pasien barunya. Pasalnya, memang begitu gaya dr. Tan, menjelaskan dengan suara keras. Bila kita simak ucapannya, semua yang dijelaskannya sangat penting dan membukakan mata.


“Kesalahan pasien dalam berobat hanyalah mencari tahu ‘bagaimana’. Bagaimana caranya menurunkan tensi, menurunkan kadar gula, menguruskan badan, menghilangkan senewen atau sakit di jemari. Jika Anda Cuma tanya ‘bagaimana’, Anda akan jatuh menjadi sekadar konsumen. Pertanyaan terpenting adalah mengapa Anda sampai sakit?” urainya.

Wanita 45 tahun ini memang tak mau punya pasien yang yang mengharapkan pil atau tongkat ajaib untuk membereskan tubuhnya. “Saya mau pasien yang taking ownership of their own body. Itu badan anda. Buat apa dokter yang sok tahu menyuruh ini-itu? Yang benar buat dokter belum tentu benar buat Anda.” Wah, dokter yang satu ini tampaknya memang lain dari yang lain.

Mendorong Gaya Hidup Sehat

Perbedaan mencolok dr. Tan dibanding dokter lain pada umumnya adalah ia tidak mudah memberi obat. Rata-rata pasien yang keluar dari ruang prakteknya tidak menggenggam resep. Kalaupun ada resep, biasanya hanya vitamin dan omega-3, tergantung kondisi pasien.

“Sampai kapan seseorang mau tergantung pada obat-obatan? Apakah setelah mengonsumsi obat dia benar-benar sembuh? Jawabannya tidak. Karena begitu obat berhenti, dia sakit lagi. Berapa banyak dokter hanya bertanya ‘sakit apa’ lalu berkata ‘ini obatnya’? Dia tidak memberikan pendidikan atau menjelaskan asal usul penyakit. Pasien juga bego, padahal dia harusnya memahami perannya dalam menciptakan penyakitnya,” jelas dr. Tan.

Sebagai ganti resep, dr. Tan memberikan pencerahan tentang gaya hidup sehat yang harus dijalani setiap orang. „Saya yakin semua dokter tahu bahwa diabetes, stroke, dan kanker adalah penyakit gaya hidup. Tapi pertanyaannya, seberapa jauh seorang dokter mau fight untuk memperbaiki gaya hidup pasiennya? Karena, penanganan pertama pasien seharusnya perubahan gaya hidup. Bila gagal, baru obat-obatan boleh dicoba.”

Dr. Tan mencontohkan, pasien yang sakit lutut akan disuruh minum obat, dioperasi, atau diganti tempurung lututnya. Padahal, titik beratnya adalah bobot tubuhnya. Jika si Pasien mengubah pola makan dan gaya hidup, berat badannya susut dan keluhan lututnya akan hilang. “Ibaratnya, mobil Mercedes pasti turun mesin kalau diisi bensin bajaj. Coba ganti dengan bensin super, pasti larinya kencang.”

Perubahan pola makan yang dianjurkan dr. Tan mungkin terdengar ekstrem. Ia mengimbau pasiennya untuk berhenti mengonsumsi gula, terigu, nasi, dan pati (singkong, kentang, ubi, jagung, talas). Pasalnya, di dalam tubuh, jenis makanan ini akan diproses 100% menjadi gula dalam waktu dua jam. Benar, manusia butuh gula untuk energi. Tapi kenaikan kadar gula darah akibat empat jenis makanan ini sangat cepat, mengakibatkan insulin melonjak untuk menekan kenaikannya. Bersama insulin, keluar pula hormon eicosanoid buruk. Akibatnya, pembuluh darah menyempit, darah kental, daya tahan buruk, tubuh ‘memelihara’ bakteri, jamur, kista, tumor, dan kanker, serta timbul nyeri.

Sebagai ganti nasi, ia meresepkan: satu ikat selada mentah atau dua cangkir brokoli setengah matang, 2 putih telur rebus, 2 tomat, 2 mentimun, setengah avokad, apel, atau pear. Dengan makanan ini, tak ada sisa gula yang tersimpan menjadi lemak. Kadar gula darah sebelum dan sesudah makan pun rata-rata sama. Dan, hormon eicosanoid buruk takkan keluar sehingga tak mengundang penyakit. ‘Menu’ ini perlu dilengkapi lauk-pauk yang diolah dengan berbagai cara, asal tidak ditumis atau digoreng.

“Kita makan sayur bukan hanya demi seratnya. Sayur mentah mengandung enzim dengan life force energy yang penting buat tubuh. Inilah pola makan asal yang sesuai fitrah manusia. Siapa bilang tidak makan nasi jadi lemas? Nenek moyang kita makan sayur dan buah tapi mereka kuat mendaki gunung danm berburu.”

Sakit adalah Introspeksi
Hal lain yang menarik dari dr. Tan adalah gelar M. Hum. Gelar itu didapat setelah ia mengambil pascasarjana filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, tahun lalu. Menurutnya, kuliah S2 filsafat membuatnya memahami manusia secara mendalam dan holistic. Ia juga jadi mengerti ‘dosa ilmu kedokteran’ tentang mekanisasi tubuh manusia.

“Akibat perkembangan ilmu kedokteran – terutama setelah ditemukannya alat pacu dan cangkok jantung, tubuh manusia yang tadinya holistic lalu dipecah-pecah. Kalau kepala sakit yang diobati, ya kepala saja. Kita terlepas dari tubuh, emosi dan kecerdasan spiritual. Tubuh manusia hanya jadi seperangkat mesin. Kalau ada yang salah, kita pergi kebengkel. Dan, rumah sakitlah bengkel terbesarnya. Betul, badan manusia terlalu kompleks untuk dipegang satu ahli saja. Manusia boleh dipegang beberapa ahli, asal mereka sama-sama sadar bahwa manusia diciptakan Tuhan. Masalahnya, dokter punya arogansi profesi. Seorang dokter biasanya susah dibilangin dan selalu merasa benar,” tuturnya lugas.

Dr. Tan juga menyayangkan bila manusia zaman sekarang mati-matian melawan dan menolak sakit. Padahal, sakit adalah jalan untuk lebih memahami bahwa manusia tak selamanya diposisi atas.

“Sakit adalah introspeksi. Ketika sakit, saya berhenti dan menoleh kebelakang. Apa yang ‘jalan’ dan ‘nggak jalan’ selama ini? Nah, menjadi sembuh adalah keberhasilan introspeksi dan menemukan cara untuk lebih maju lagi. Tapi bagaimana pasien bisa introspeksi bila tak dibimbing menemukan kesembuhannya dan hanya dininabobokan oleh obat? Dunia yang mati rasa dan tak mau mengalami sakit adalah dunia yang melarikan diri, mengingkari diri sendiri,” lanjutnya.

Menurut dr. Tan, kita memasuki era kebablasan mengonsumsi obat. Akhirnya, obat dijadikan demand. Setelah demand melambung tinggi, masyarakat digenjot untuk mendapatkan penghasilan lebih yang tak perlu demi obat. Lihatlah berapa banyak orang yang harus berusaha mati-matian demi keperluan berobat salah satu anggota keluarga.



Selalu Ingin Jadi Dokter

Dr. Tan Shot Yen lahir di Beijing, 17 September 1964 dan dibesarkan di Jakarta. Ia kuliah di Fakultas Kedokteran Universistas Tarumanegara dan lulus Profesi Kedokteran Negara FKUI pada tahun 1991. Sebagai siswi yang selalu mendapat nilai cemerlang dalam ilmu eksakta, menjadi dokter merupakan impiannya sejak dulu. Baginya, dibidang kedokteran, cara pikirnya yang eksakta bisa menemukan ‘kemanusiaannya’. Dalam diri pasien, ia menemukan benang merah antara fisik, emosi dan spiritual.

Ketika baru menjadi dokter, saya juga ngaco. Sekadar memberi obat pada pasien. Lama-lama saya pikir saya cuma perpanjangan pabrik obat,” kenangnya. Lalu ia pelan-pelan lebih menggunakan gaya hidup sehat. Perubahan ini dipicu oleh ayahnya, dr. Tan Tjiauw Liat, tokoh inspiratif yang membuatnya maju untuk melihat apa sebenarnya kebutuhan manusia.

Melihat begitu berapi-apinya dr. Tan saat memberikan pencerahan gaya hidup pada pasien, siapapun mungkin akan bertanya ‘apa tidak capek?’. “Lebih capek mana dibandingkan dokter yang ditunggangi perusahaan obat dan makanan? Saya mendapat energi bila melihat pasien sembuh. Mereka memegang kendali atas hidup mereka, tidak dibohongin dokter, dan tidak tergantung obat,” jawabnya.

Dr. Tan mengakui, sepak terjangnya kerap dipandang sebelah mata oleh koleganya. “Ada yang bilang saya idealis, bahkan mission impossible. Tapi saya yakin, dalam hati kecil mereka mengatakan bahwa perubahan gaya hiduplah jawabannya. Masalahnya, mereka sendiri tidak menjalani gaya hidup itu. Ini membuat saya sebal. Kalau mereka merasa tidak bisa menjalani gaya hidup sehat, jangan mengecilkan pasien dengan menganggap pasien juga takkan bisa. Pasien yang sudah parah dikasih obat apapun pasti mau. Apalagi cuma disuruh ganti nasi dengan sayur.”




Keluarga terpengaruh


Pola makan asal yang meniadakan gula, trigu, nasi, pati dan susu yang dijalani dr. Tan juga dilakukan oleh suami – Henry Remanleh – dan anak tunggalnya, Cilla. Menurut dr. Tan, mereka tidak menjalaninya karena terpaksa, tapi karena merasakan manfaatnya. “Putri saya 17 tahun, kadang terpengaruh pola makan temannya. Dia lalu mengeluh susah konsentrasi atau pencernaannya terganggu. Setelah itu dia back on track. Dia sudah mengonsumsi raw food sejak SMP atas pilihan sendiri. Anak itu mencontoh orang tuanya. Jangan harap anak makan dengan baik kalau Anda sendiri ambur adul.”

Suaminya, Henry, adalah kinesiologis yang berkutat dengan masalah gerak dan pengaruhnya terhadap aspek kehidupan manusia. Henry juga instruktur brain gym. Ia berpraktek ditempat yang sama. Dr. Tan sangat menghargai pekerjaan suaminya karena memberdayakan masyarakat. “Brain gym terbukti bisa meningkatkan konsentrasi. Dengan pola makan sehat sejak kecil dan gerakan olahraga terstruktur, Anda tak perlu lagi minum obat,” katanya tegas.

Selain sibuk berpraktik dan menjadi pembicara talkshow, dr. Tan menjadi contributor untuk taboid dan majalah kesehatan. Selain itu, ia mengisi waktunya dengan membaca dan membuka jalur continuing medical education melalui internet. Karena itu, info dan data jurnal ilmiahnya selalu up to date – disamping buku-buku terbaru pemberian ayahnya.

Ia menjalani pilates, terkadang berenang, dan sesekali bermain piano. Kini ia sedang mengumpulkan kisah-kisah kamar praktek untuk dijadikan tulisan inspiratif agar para dokter memandang pasien lebih dari sekumpulan diagnosis.

Wah, sepertinya semangat dalam tubuh mungil ini seolah melonjak-lonjak dan tak pernah padam. Maju terus dr. Tan! .....

Read more...

Buah Kebijakan MATSUSITHA

0 komentar


PanasonicDampak dari krisis global ekonomi sampai saat ini masih terus terasa. Pengaruhnya terhadap cara hidup luar biasa besarnya. Kalangan atas berguguran, kalangan menengah ke bawah pontang-panting. Kerusakan yang ditimbulkannya tidak dapat diragukan lagi.


Pada tahun 1929 pernah terjadi ‘depresi ekonomi global'. Wall Street menukik tajam tak terkendali. Surat saham tak lebih nilainya seperti kertas biasa. Saat itu General Motor terpaksa mem-PHK separuh dari 92.829 karyawannya. Perusahaan besar maupun kecil bangkrut. Jutaan orang menjadi pengangguran. Jutaan orang kelaparan. Daya beli turun bersama harga dan lowongan pekerjaan.


Malam menjadi gelap gulita. Kepanikan terjadi di mana-mana. Toko yang masih bertahan menghentikan pembelian dari pabrik karena gudang sudah penuh dengan barang yang tidak terjual. Saat itu, Konosuke Matsushita yang memproduksi peralatan listrik bermerk National dan Panasonic baru saja merampungkan pabrik dan kantor dengan pinjaman dari Bank Sumitomo.

Kondisi badannya sering sakit-sakitan akibat gizi yang kurang di masa kanak-kanak, ditambah lagi dengan kerja selama 18 jam sehari, 7 hari seminggu selama 12 tahun merintis usahanya. Hanya semangat hiduplah yang membuatnya masih bernafas. Dengan punggung bersandar ke tembok rumah, Matsushita mendengarkan laporan tentang kondisi perekonomian yang terus memburuk ketika manajemennya datang menjenguk. Lalu bagaimana tanggapannya?


"Kurangi produksi separuhnya, tetapi JANGAN mem-PHK karyawan. Kita akan mengurangi produksi bukan dengan merumahkan pekerja, tetapi dengan meminta mereka untuk bekerja di pabrik hanya setengah hari. Kita akan terus membayar upah seperti yang mereka terima sekarang, tetapi kita akan menghapus semua hari libur. Kita akan meminta semua pekerja untuk bekerja sebaik mungkin dan berusaha menjual semua barang yang ada di gudang."


Perintah ini bagi anak buahnya sama anehnya dengan depresi ekonomi itu sendiri. Dalam situasi begitu, sangatlah masuk akal jika perusahaan mem-PHK karyawan demi efisiensi. Namun Matsushita karena keyakinannya pada sang kebajikan sudah mantap, ia memikirkan kelangsungan hidup anak dan istri dari para karyawannya, dan ia berhasil menghasilkan terobosan yang manusiawi pada masa depresi ekonomi tersebut. Kebajikan Matsushita terhadap karyawannya mendapatkan hasil yang manis 16 tahun kemudian. Hasil itu didapatkannya dari para karyawan yang pernah ditolongnya. Ia menuai buah kebajikannya sendiri.


Ketika Perang Kedua II berakhir, Jendral Douglas McArthur yang mengendalikan Jepang menangkapi semua pengusaha Jepang untuk diadili karena keterlibatan mereka selama perang. Pada kurun waktu 1930-an, para pengusaha Jepang termasuk Matsushita mendapatkan tekanan rezim militer Jepang saat itu untuk memproduksi senjata dan logistik militer lainnya. Maka Matsushita pun ikut ditangkap.


Konosuke MatsushitaSekitar 15.000 pekerja bersama keluarganya membubuhkan tanda tangan petisi pembelaan untuk Matsushita!!! Jendral McArthur pun tercengang oleh petisi tersebut dan akhirnya membebaskan Matsushita. Tidak ada pemilik usaha dan pimpinan industri sebelum perang dunia kedua yang diizinkan McArthur kembali ke pekerjaannya kecuali Matsushita.


Demikianlah Matsushita dapat terus memimpin perusahaannya sampai menjadi raksasa elektronik dunia, dan baru pensiun pada tahun 1989 pada usia 94 tahun. Ketika Matsushita meninggal tahun 1990, bukan cuma para pebisnis yang berduka cita, Presiden Amerika Serikat saat itu, George Bush senior pun turut berduka.


Matsushita berhasil membangun dirinya melewati ambang batas pengusaha yang umumnya selalu lapar duit dan haus fulus serta menjadi pribadi yang humanis dan filsuf yang sangat peduli terhadap kemanusiaan. Bagi Matsushita, uang bukanlah tujuan. Meskipun ia membutuhkan uang tetapi uang bukanlah segala-galanya. Baginya, uang adalah sarana untuk melakukan kebajikan.
Itulah sebabnya Matsushita tidak pernah menggigit orang, main curang atau merebut jatah orang lain. Matsushita yakin bahwa kalau kita tidak jahat dan terus berbuat baik maka kejahatan akan menjauhi kita dan kebaikan akan melindungi kita. Bagaimana dengan kita? Sudah cukup baikkah kita hari ini?


As long as we have memories, yesterday remains...
As long as we have hope, tomorrow awaits...
As long as we have friendship, each day is never a waste.


Sumber: Motivasi Keeboo.Corp via www.jawaban.com
Read more...

Duluan Mana Ayam atau Telor ???

0 komentar
Duluan mana ayam atau telor…..???? wallaaaah tebakan ini sudah lama banget, JADUL. Saya gak mau komen soal ini cuma tebakan ini ada kaitannya dengan cerita seeorang yang terlalu banyak mikir.

Begini…… kalau mau buka usaha biasanya mereka (pemain baru) mikirnya itu bisa sampai sejuta kali, dipikiiiiiiiiirr terus baru habis itu di pikir lagi, gak pernah jalan-jalan.

Tanya kanan kiri mengenai bisnis yang mau dirintis kira-kira bagus nggak kedepannya, tanya ke ramalan kira-kira cocok nggak dengan shio-nya, tanya pasangannya (kalo punya) apakah bisnis ini nanti ngganggu nggak dan sejuta alasan lainnya.

Aneh….. jalan aja belum kok sudah banyak mikirnya padahal Tuhan kan sudah memberikan petunjuk kepada kita bahwa segala sesuatu di dunia ini selalu berpasangan, contoh,  ada pintar ada bodoh, ada laki ada perempuan, ada sehat ada sakit dan ada untung ada rugi.

Sudah jelaskan bahwa kalau kita nggak rugi pasti untung dan kalau kita enggak untung pasti rugi jadi biarpun dipikir sejuta kalipun tetep bisnis itu nantinya kalau nggak untung ya rugi…………. gitu aja kok repot.

Untuk memotivasi biar lebih semangat maka lebih baik kalimatnya diganti saja dengan kalimat begini, ada pintar ada sangat pintar, ada sehat ada sangat sehat, ada untung ada sangat untung.

Jadi sekali lagi… kalau mau jualan atau mau pengembangan bisnis lebih baik lakukan saja jangan banyak mikir….. ingat JANGAN BANYAK MIKIR cukup sedikit saja mikirnya habis itu langsung action.

 Salah satu bukti bahwa action lebih penting daripada mikir


Sekarang balik lagi ke pertanyaan diatas, duluan mana ayam atau telor…??
Kalau saya yang jawab, kalau telor dulu yang keluar maka langsung tak dadar buat campuran jualan nasi goreng dan kalau yang keluar ayam maka langsung tak tambah tepung buat jualan Fried Chicken……. sing penting JUALAN

Read more...

9 Mei 2012

TV Online

1 komentar
Mau nonton TV Online, disini Anda dijamin bebas menonton sepuasnya, dan jangan lupa ajak temen - temen untuk lihat TV Online disini "Selamat menikmati"

Read more...

4 Mei 2012

Setelah Kau Menikahiku

0 komentar





Penulis: Novia Stephani
Pemenang I sayembara mengarang cerber femina 2003




Puspita tak percaya pada lembaga pernikahan, namun tantangan Idan untuk membuktikannya tak bisa ditolak. Maka mereka pun melakukan simulasi pernikahan ….

Aku sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa orang harus menikah,” gerutuku.

Idan tertawa. “Ibumu menanyakan calonmu lagi?”

Aku mengangguk cemberut.

“Apa jawabanmu kali ini?” godanya.

“Aku tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamar.”

Idan terbahak. “Kau kekanak-kanakan,” katanya.

“Habis jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan? Aku sudah kehabisan alasan, kehabisan stok bohong. Dan ibuku malah makin gencar menteror.”

Idan tersenyum. “Kau benar-benar seperti anak-anak. Kalau kau jadi ibumu, apa kau tidak akan blingsatan kalau anakmu belum juga menikah pada usia tiga puluh tiga.”

“Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah seumur hidupnya,” komentarku.

Alis Idan terangkat.
“Kenapa?”

“Pernikahan hanya memperumit hidup perempuan.”

“Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih sulit.”

“Persis!” potongku. “Untuk apa menikah kalau yang kita dapat hanya kesulitan?”

“Mungkin karena kesulitan itu hanya efek sampingnya, sementara keuntungannya lebih banyak?”

“Sok tahu,” cibirku. “Kau sendiri belum menikah. Apa yang kau tahu tentang keuntungan menikah.”

“Aku sudah cukup banyak belajar, Pit. Umurku sendiri sudah tiga puluh lima, kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga.”

“Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukup pelik tanpa perlu lagi menikah?”

Idan tersenyum. “Ya, memang.”

“Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!”

“Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah, lho. Aku hanya masih menunggu calon yang pas.”.

Dan aku menghela nafas panjang. “Ah, ya. Calon.”

“Itu kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?”

“Ya,” gumamku enggan.

“Bukan karena kau sama sekali antimenikah.”

Aku menggeleng. “Jangan bilang siapa-siapa, tapi kadang-kadang aku kepingin juga digandeng seseorang saat datang ke pesta.”

“Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?”

“Gandengan pacar itu lemah. Gampang putus,” komentarku pahit. “Maksudku, aku mau orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi.”

“Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana? Ini zaman susah. Banyak pengangguran.”

“Idan!” kuayunkan tanganku, tapi —-begitu hapalnya ia dengan reaksiku—-ia menghindar sambil tertawa.

“Kau sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekadar mengontrak penggandeng tetap?” tanyanya kemudian, lebih serius.

“Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang salah. Kalau saja,” aku terdiam.

“Apa?”

“Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baik hati setelah ia berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisa tahu kalau lelaki yang merayunya ternyata suami yang payah? Yang suka memukuli, mencaci maki, Menghina; orangnya pelit, cemburuan, suka berbohong dan berkhianat.”

“Pit, laki-laki yang begitu sedikit sekali.”

Aku menggeleng. “Semua laki-laki binatang.”

“Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki.”

“Kau bukan lelaki, Dan. Kau malaikat.”

Idan terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.

“Idan!” desisku. “Nanti orang-orang memperhatikan kita!”

“Pit, kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi roh dan mengajukan lamaran menjadi malaikat,” dan ia kembali terkulai, mata tertutup, lidah terjulur.

“Idan, Idan,” desahku. “Kalau kau memang mau menikah, berobatlah.”

Ia tergelak. “Dan kau. Kalau kau memang mau menikah, percayalah setidak-tidaknya pada satu orang saja dari golongan laki-laki.”

“Aku tidak bisa, Dan.”

“Berarti kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin dan tidak akan. Dan kalau kau memaksakan diri, kau akan merana. Dan kalau kau sengsara kau akan makan makin banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan.”

“Idan!” walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyum mendengar pernyataan konyol itu. Setelah dua puluh tahun menjadi sahabatku, ia benar-benar telah memahamiku.

“Apa kau pernah berpikir tentang ibumu?” katanya kemudian. Seperti biasa ia bisa menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selang waktu sepersekian detik. “Ia pasti sangat ingin kau segera mendapat pasangan tetap. Ia akan lebih tenang kalau tahu kau akhirnya punya seseorang yang akan menemani dan melindungimu.”

“Jangan bicara begitu,” cetusku, kembali manyun. “Satu, ini hidupku, bukan hidup ibuku. Aku sedih kalau ibuku sedih. Tapi kalau suamiku berkhianat, apa ibuku mau menanggung rasa malu dan sakit hatiku? Kedua, aku tidak butuh pelindung. Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri. Kalau itu yang aku butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak pembantu, plus bodyguard kalau perlu.”

“Baik, baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah,” Idan membungkuk dalam-dalam. “Jadi, dengan asumsi kau tidak sama sekali menihilkan kemungkinan menikah, apa yang ingin kau capai dengan itu?”

Aku tertunduk lemas. “Itulah, Dan,” desahku. “Aku tidak tahu. Apalagi yang aku butuhkan saat ini? Aku punya pekerjaan dengan masa depan yang lumayan. Jadi menikah untuk alasan ekonomi jelas-jelas bukan pilihan untukku. Aku punya teman-teman diskusi, sahabat untuk berbagi, jadi kesepian juga bukan alasan bagiku untuk menikah.”

“Bagaimana dengan keturunan?”

“Anak? Apa aku harus menikah untuk punya anak? Aku bisa mengadopsi bayi, kan? Di luar sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya. Kalau aku mau, aku bisa mengasuh satu, dua atau bahkan tiga dari mereka. Jadi tolong, jelaskan kenapa aku harus menikah, mempertaruhkan diriku sendiri, mengambil risiko dilukai lahir dan atau batin.
Tak ada kepastian sama sekali bahwa pernikahan itu akan bertahan sepanjang hidupku. Di samping itu, kalau pernikahan itu hancur di tengah jalan, aku akan jadi pihak yang paling besar menanggung kerugian. Kenapa, Dan? Untuk apa?”

Idan termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. “Cinta mungkin?”

“Kau terlalu banyak menonton film romantis,” olokku. “Kau tahu berapa lama cinta bertahan dalam suatu pernikahan?”

“Berapa lama?”

“Satu sampai tiga bulan. Setelah itu, toleransi, kompromi, frustrasi dan imajinasi.”

“Imajinasi?”

“Kalau kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki yang kau benci sekaligus yang kau tahu membencimu, kau harus membayangkan menikah dengan Richard Gere atau kau bisa jadi gila.”

“Astaga,” gumam Idan. “Kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yang harus kubayangkan? Michelle Pfeiffer atau Nicole Kidman?”

“Gorila,” jawabku sekenanya dan Idan meledak tertawa.

“Idan,” keluhku. “Berhentilah tertawa. Aku bukan pelawak. Aku sedang membicarakan masalah serius, dan aku sebal kau tertawai terus menerus.”


Wajahnya serta-merta menjadi serius. “Aku tidak menertawaimu. Kalau kau benar-benar sahabatku, kau tahu beginilah aku menyikapi semua masalah, yang tergenting sekalipun. Termasuk soal menikah. Cobalah. Kau akan merasa jauh lebih baik. Kalau ibumu menanyakan calonmu sekali lagi, tertawalah. Tertawalah keras-keras.”

“Idan, kau benar-benar tak tertolong lagi,” gumamku. “Aku perlu solusi, Dan. Bukan ide-ide konyol.”

Idan membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung.

Akhirnya, Idan bicara dengan hati-hati. “Pit, aku tahu ini akan kedengaran gila.
Tapi dengar dulu. Aku rasa saranku ini bisa menyelesaikan kedua masalahmu. Pertama, ketidakpercayaanmu pada ras laki-laki. Kedua, ketidakmengertianmu kenapa kau butuh seorang suami.”

Aku mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk mempertahankan mimik seriusku walaupun ide yang akan dilontarkan Idan nantinya ternyata kelewat sinting dan karenanya teramat sangat kocak.

“Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat sangat penting, jadi aku perlu jawaban terjujurmu. Apa kau percaya kepadaku?”

Kutatap Idan dengan dahi berkerut. Ia telah jadi sahabatku selama puluhan tahun. Banyak yang berubah dalam hidupku, dan setidaknya enam lelaki telah hadir dan menghilang dari hidupku. Hanya Idan yang tak berganti. Ia seakan-akan selalu siap mengulurkan tangan menolongku, sementara sense of humor-nya tak pernah gagal membantuku keluar dari depresi yang paling parah sekalipun. Kalau ada satu laki-laki di dunia yang kuhadapi dengan skeptisisme nyaris nol, hanya Idan orangnya.
“Ya. Aku percaya kepadamu.”

“Kalau begitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini semata-mata untuk kebaikanmu. Percayalah bahwa aku sama sekali tidak memiliki niat jahat terselubung di balik ideku ini. Percayalah.”

“Idan!” potongku tandas. “Ide apa?”

“Aku ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen,” ia bicara dengan hati-hati, kedua matanya terpancang pada ekspresi wajahku. “Kita akan melakukan pernikahan.”

“Apa?”

“Simulasi!” lanjut Idan sesegera mungkin. “Tentu saja lengkap dengan semua formalitasnya, lamaran, akad nikah, kalau perlu honey moon….”

“Bulan madu?”

Idan mengangkat tangannya menyuruhku diam, ”Simulasi. Sekali lagi, simulasi. Setelah itu kita akan menjadi suami istri —-simulasi—- sambil mempelajari kenapa kebanyakan manusia yang normal dan waras begitu berambisi untuk berumah tangga. Kalau pada akhir eksperimen kau merasa yakin bahwa kerugiannya tidak sebanding dengan keuntungannya, kita bercerai dan kau bisa hidup lajang, merdeka selama-lamanya. Kalau ternyata kau kecanduan hidup sebagai istri, kita bercerai dan kau bisa cari suami yang paling cocok untukmu. Anggaplah ini Sebagai tes untuk melihat apa kau akan memilih menikah atau tidak.
Tanpa komitmen, tanpa penalti. Bagaimana?”

“Idan,” desisku. “Ini ide terbodoh yang pernah kudengar.”

“Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya,” sanggah Idan mantap. “Pikirkan, Pit. Ini satu-satunya cara supaya kita bisa belajar seperti apa pernikahan itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh menikah. Kau tidak mungkin melakukannya dengan laki-laki selain aku, yang telah terbukti memiliki sifat ksatria, dapat dipercaya dan teguh pendirian….”

“Serius, Idan, serius!”

“Dan kau sama sekali tidak melakukan pengorbanan apa pun. Kau tidak akan mengalami kerugian apa pun.”

“Kecuali jutaan yang harus keluar untuk biaya pernikahan….”

“Simulasi,” Idan mengingatkan sambil mengangkat telunjuk.

“OK. Pernikahan simulasi,” geramku. “Dan aku akan menyandang status janda setelah kita bercerai.”

“Simulasi.”

“Idan!”

“Upit!”

“Oh, Tuhan,” aku bangkit dengan marah dan beranjak keluar. Idan segera menjejeriku.

“Upit, kau tidak perlu semarah ini,” katanya. “Apa aku sejelek itu di matamu hingga kau bahkan tidak mau pura-pura menikah denganku?”

Aku berhenti berjalan dan menatap wajahnya. Dan menggeleng. “Biarpun wajahmu seperti bunglon sekalipun, aku akan tetap memujimu di depan perempuan malang manapun yang mencintaimu.”

Matanya berbinar. “Kau tidak marah lagi, kan?”

Aku menggeleng. “Aku bukan marah karena idemu, Dan. Aku tahu otakmu memang selalu korslet tiap kali memikirkan jalan keluar dari suatu problem serius. Aku mengerti. Aku hanya kesal karena kau sepertinya tidak peduli dengan masalahku.”
“Justru karena aku sangat peduli aku mengusulkan ini, Pit,” ekspresinya tampak begitu tulus.

“Terima kasih. Tapi ide itu memuakkan.”

“Pikirkan ibumu, Pit. Kalau beliau tahu kau akan segera menikah, denganku, orang yang selama ini dikenalnya sangat baik, sopan, hormat kepada orang tua, ulet, tangguh…,” ia berhenti saat melihat raut wajahku, “ibumu akan sangat bahagia, Pit.
Pikirkan juga dirimu.”

Ia diam sejenak. “Aku janji akan menggandeng tanganmu di setiap pesta. Di mana pun.”

Ucapannya begitu menyentuh hatiku hingga aku nyaris menangis terharu. Kalau saja di antara bekas-bekas kekasihku ada yang mengatakan itu kepadaku, aku pasti sudah lama sekali menikah, pikirku sebelum menertawai diri sendiri. Perempuan yang tidak butuh seorang pelindung, tapi haus digandeng tangannya. Aku pasti sama kurang warasnya dengan Idan.
“Apa aku harus menciummu?” tanyaku nyaris berbisik.

“Sesekali mungkin, kalau orang tua kita diam-diam mengawasi,” matanya kembali tertawa. “Di pipi. Aku tidak akan melewati batas. Kalau kita hanya berdua, kau bebas untuk meninjuku, menjambakku….”

“Idan,” teguran itu lebih lembut daripada yang kuinginkan dan Idan tersenyum.

Suaranya bergetar. “Saya terima nikahnya Puspita Kirana binti Anwar Daud dengan mas kawin tersebut, tunai.”

Dan wajahnya kelihatan sedikit pucat. Berapa lama ia tidur semalam? Apa ia terjaga berjam-jam dalam gelap, memikirkan lelucon terbesarnya, seperti aku yang nyalang nyaris sepanjang malam tadi?

Ibuku meneteskan air mata sementara senyum lebar memenuhi wajahnya. Ibu Idan, walau menyaksikan dari kursi rodanya, juga tampak bahagia. Seharusnya aku juga bahagia hari ini. Idan juga. Mungkin dengan orang-orang lain. Tapi seharusnya aku merasa bahagia. Bukan diam-diam mencatat seperti seorang ilmuwan yang teliti: perasaanku, reaksi para tamu, wangi melati dan wajah Pak Penghulu.

Pak Penghulu menyuruhku menyalami suami baruku. (Simulasi, Upit, jangan lupa itu. Suami baru simulasi.) Tangannya dingin. Ekspresi wajahnya aneh, kedua matanya gemerlapan dengan rasa takjub, saat aku mendongak setelah mencium jemarinya. Ia mengecup dahiku dengan bibirnya yang yang nyaris putih. Lalu kami berdua duduk berdampingan mendengarkan petuah Pak Penghulu, Idan menunduk menatap pantalon putihnya dan mataku terpaku pada kain batikku.

Akhirnya kuberanikan diri untuk berbisik, ”Kau pucat sekali.”

“Aku lapar. Tidak sarapan tadi pagi.”

“Terlalu nervous?”

“Telat bangun. Aku nonton bola sampai subuh.”

Aku tersenyum.

“Bagaimana aku tadi?” bisiknya.

“Meyakinkan. Berapa lama kau latihan?”

“Hanya waktu aku berpakaian tadi pagi. Catatan yang kau beri tercuci dengan celanaku.”

Ah, Idan, Idan. Menikah dengannya tidak akan pernah membosankan.

Simulasi. Menikah simulasi dengannya tidak akan membosankan, koreksiku. 


Sebulan pertama Upit berusaha mengerti kebiasaan Idan menghabiskan akhir pekan dengan memancing. Di minggu kelima dia protes, dan mereka bertengkar. Pertengkaran terhebat yang pertama.

Tiga hari pertamaku sebagai istri Idan —-simulasi-— kulewatkan di rumahku sendiri. Tiga hari berikutnya dilewatkan di rumah Idan, karena kondisi ibunya, yang memang telah sangat lama sakit, memburuk; mungkin karena ketegangan yang disebabkan persiapan acara pernikahanku dengan Idan. Pada hari ketujuh kami pindah ke rumah milik Idan sendiri. Dan setelah seharian menata perabotan, memasang tirai dan beragam pajangan, malam itu kami lewati dengan tidur.

Esok paginya, aku terbangun karena mendengar suara-suara di dapur. Aku menemukan Idan di sana, sedang mendadar telur, sementara di atas meja terhidang nasi goreng dan sepoci kopi yang harumnya menggoda.

“Aku ada rapat pukul setengah delapan,” seru Idan sambil membalik dadar telurnya. “Aku mesti berangkat sebelum setengah enam.”

Kucicipi nasi goreng buatannya. “Aku tidak tahu kau pintar memasak.”

“Pramuka,” komentar Idan tersenyum. Diletakkannya telur di atas meja dan ia duduk untuk sarapan. “Aku juga pandai tali-temali, semafor, menjahit.”

“Percaya, percaya. Kalau kau mau menangani urusan masak, aku akan memperbaiki keran dan genting bocor, plus membabat rumput.”

Idan terbahak. “Ini hanya sekali-sekali, Pit. Aku tidak mungkin masak setiap pagi.”

“Apalagi aku. Kita perlu cari pembantu.”

“Jangan,” Idan menggeleng. “Ia pasti curiga kalau melihat kita tidur di kamar berbeda.”

“Jadi?”

Idan menggaruk kepalanya. “Bisakah kau masak nasi tiap hari?” pintanya. “Aku punya rice cooker.”

Kutatap wajahnya. Dalam hati aku berpikir, haruskah? Ini hanya sebuah permainan. Tidakkah Idan akan jadi besar kepala kalau aku mematuhinya? Tapi di lain pihak, kalau aku benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya jadi seorang istri, mungkin ada baiknya aku mengikuti keinginannya. “Kalau kau mau membawakan lauk dan sayur bergantian denganku, baik.”

Ia tersenyum dan beranjak dari meja dan kembali dengan sebuah bolpoin merah. Dilingkarinya tanggal hari itu di kalender yang tergantung di dinding dapur.

“Hari pertama kita menyelesaikan suatu masalah dengan musyawarah keluarga,” katanya saat kembali ke kursinya.

“Masih banyak detil-detil seperti ini yang mesti kita sepakati,” lanjutnya. “Misalnya, aku ingin kau beri tahu aku kalau kau akan pulang terlambat.”

Dahiku berkerut. “Untuk apa?”

“Apa kau tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau akan pulang terlambat?”

Aku menggeleng. “Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri dan tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh.”

“Tapi aku suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa dan di mana kau kalau pulang terlambat.”

“Kau kedengaran seperti diktator.”

“Kurasa aku tidak minta terlalu banyak.”

“Itu terlalu banyak untukku.”

Idan meletakkan sendoknya dan menatapku dengan mata menyala. Aku lupa kapan terakhir kali aku melihatnya marah. Tapi aku yakin aku tak salah membaca gelagatnya kali ini. Ia benar-benar marah.

“Ingat,” lanjutku hati-hati. “Aku bukan benar-benar istrimu. Kau tidak punya hak untuk mengaturku seperti itu.”

Ia menunduk lama sekali, tangannya terkepal, buku-buku jarinya memutih. Dan ruang makan itu menjadi sangat sunyi senyap. “Baik. Kalau itu maumu,” desisnya kemudian.

Kami melanjutkan sarapan dalam diam. Aku ingin mengatakan bahwa aku sama sekali tidak menduga permainan itu akan membuat persahabatanku dengan Idan memburuk. Tapi aku tak berani mengungkapkan itu. Aku yakin Idan akan semakin berang karenanya.

Idan meninggalkan meja tanpa mengatakan apa-apa dan pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap ke kantor.
Tak lama ia kembali menemuiku di ruang makan. “Aku pergi, Pit,” katanya dingin.

Aku bangkit dari meja menghampirinya, berniat untuk memperbaiki situasi. “Sebagian teman-temanku menyarankan ini,” ujarku sambil meraih tangan kanan Idan dan menempelkannya di bibirku. “Kupikir ada baiknya kucoba. Oh, ya. Mereka bilang kau harus mencium keningku.”

Ia membungkuk dan menyapu keningku dengan bibirnya yang terkatup dan berlalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi.

Dasar tidak tahu terima kasih!

Aku sengaja pulang terlambat malam itu. Dalam perjalanan pulang kusinggahi suatu kafe yang belum pernah kukunjungi, sebagian untuk memperoleh kesendirian dan sebagian untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang pasti diberondongkan kawan-kawan yang biasa bersamaku menghabiskan sore hari.

Perasaanku gundah. Rasa bersalah dan kesal berkecamuk di dadaku. Aku tahu Idan telah banyak berkorban untuk permainan ini. Tapi walau aku sungguh-sungguh ingin mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorang istri, mesti kuakui bahwa aku belum terbiasa menganggap Idan sebagai suamiku. Bagiku, ia hanya masih seorang sahabat. Dan seorang sahabat tidak boleh menuntut terlalu banyak.

Mataku tertaut pada cincin emas mungil yang disisipkan Idan di jari manisku selepas akad nikah. Ini hanya permainan, batinku. Tapi dalam permainan ini, Idan adalah suamiku. Dan sebagai suamiku, tuntutannya wajar. Kalau aku lantas tidak suka dengan keterbatasannya, itu hanya satu pelajaran pertama dari permainan ini.

Kupejamkan mataku dan kutarik napas dalam-dalam.
Aku benci kekalahan. Tapi kali ini aku mengalah, bukan kalah. Aku akan belajar satu hal dari semua ini. Bagaimana mengesampingkan keakuan dan memilih kebersamaan. Getir memang. Aku yakin Idan akan menertawaiku. Kalau ia tidak marah-marah dulu.

Alangkah terkejutnya aku mendapati rumah gelap dan kosong. Sudah pukul setengah dua belas malam dan Idan belum pulang?

Kucoba menghubungi ponselnya dan hanya mendapati mailbox. Dengan menggunakan berbagai tipu daya, memperhitungkan lemahnya kondisi ibu mertuaku, kutelepon rumahnya.
Aku bahkan mencoba mengontak kantornya, tanpa hasil. Idan tidak ada di mana-mana.

Inikah balasannya atas penolakanku tadi pagi? Kekanak-kanakan sekali!

Tapi tak urung, dengan melarutnya malam, aku jadi semakin cemas. Apalagi hingga pagi Idan tidak kembali. Ia bahkan tidak pergi ke kantor. Aku minta izin pulang setengah jam lebih awal dengan dalih yang dibuat-buat. Tapi saat aku tiba di rumah, Idan tetap tidak ada. Malam itu kulewatkan di sisi telepon, berpikir untuk menghubungi polisi dan rumah sakit.

Pukul tiga telepon berdering. Bermacam-macam kengerian terlintas di benakku saat aku mengangkat receiver.

“Upit?”

“Idan?” jeritku. “Kau di mana?”

“Pit, aku minta maaf karena marah dan minggat begitu saja. Boleh aku pulang?”

“Idan, ini rumahmu!” meskipun aku tersenyum, air mata kelegaan mulai meleleh di pipiku.
“Kau di mana?”

“Di luar.”

“Di luar rumah?”

“Ya. Dan aku lapar.”

“Oh, Tuhan….”



Setelah Kau Menikahiku  ( Bagian 4 )
Setelah Kau Menikahiku  ( Bagian 5 )
Setelah Kau Menikahiku  ( Bagian 6 )
Setelah Kau Menikahiku  ( Bagian 7 )
Setelah Kau Menikahiku  ( Bagian 8 )
Setelah Kau Menikahiku  ( Bagian 9 )
Setelah Kau Menikahiku  ( Bagian 10 )
Read more...